"Kau muda lagi, mana tahu apa-apa."
Saya selalu terpana tatkala mendengar ayat yang sama diulang-ulang oleh orang yang lebih berusia. Malah acapkali juga saya diterjah "Alah, dia ni muda lagi apa pun tak tau."
Sesekali, saya tersenyum cuma. Meski terkadang tergores jua rasa di jiwa. Meski tertanya-tanya pada tahap umur berapakah suara kita layak didengari, saya sekadar tersenyum. Mujurlah emak tidak pernah mengajar sifir begitu. Meraikan suara semua manusia tidak kira umur sudah seakan menjadi ajaran yang diterapkan ke dalam jiwa. Adab tatkala bersuara ditekankan jua. Saya juga pernah ditegur oleh adik saudara yang tatkala itu berusia 5 tahun cuma --
"Kak wawa, beg tu siapa punya?"
"Kak wawa tak tahulah."
"Kak wawa tak tahu? Tu Allah punyalah! Semua benda dalam dunia ni Allah punya." Sambungnya sambil menyanyi lagu mana milik kita.
Saya tersengih tergaru-garu kepala, kalaulah saya tidak meraikan suaranya pastilah anak kecil itu sudah dilabel kurang ajar dan tidak menghormati orang tua meski kata-katanya terselit kebenaran. Sorotan kisah-kisah ini membuatkan saya teringat pada satu kisah manis Umar ibn Abd Aziz yang dicatatkan oleh Dr Aidh Al-Qarni dalam buku yang telah diterjemah -- Terampil berdialog ; Etika dan strateginya.
Suatu hari Umar mengumpulkan rakyatnya untuk didengar perbicaraan mereka. Lalu berdirilah seorang pemuda yang ingin bersuara. Umar segera berkata, "Duduklah wahai pemuda! Di sini masih ramai lagi orang yang lebih berumur dari mu."
Pemuda itu segera membalas, "Wahai Umar, andailah umur yang menjadi ukuran maka di sini lebih ramai orang yang layak menjadi khalifah selainmu."
Umar segera tersenyum. Umar tidak marah dan melatah. Kata pemuda itu ada benarnya. Tatkala itu usia Umar adalah 40 tahun cuma, sedangkan hadirin yang lain berusia 60 tahun, 90 tahun malah ada yang ratusan tahun. Namun, kerana kredibiliti, Umar lah yang lebih layak menjadi pemimpin.
Dari Umar kita belajar -- sesekali ego perlu diletakkan jauh di sudut sana. Kerana keegoan itu mampu menutup hati di dalam dada.
Dari Umar kita belajar -- Jangan sombong. Belajarlah tidak kira dengan siapa, meski anak kecil di tadika siaran, atau pengemis di pinggir jalan.
Dari Umar kita belajar -- Memiliki hati yang tunduk pada Sang Rabbi, kerna ketakutannya tersasar dari landasan membuatkan hati selalu tunduk pada kebenaran.
Dan kita ; mahu memilih belajar daripada Umar atau terus membiarkan keegoaan merajai jiwa, benar-benar adalah sebuah pilihan -- Ya. sebuah pilihan yang akan dipersembahkan di hadapan Tuhan.
Pilihlah sebaiknya. Saya memilih bersama yang ahli. Anda bagaimana?
Salam sayang :)
No comments:
Post a Comment